Mengenal suku Laut di Provinsi Kepulauan Riau identik dengan hidup yang berpindah-pindag. Dari satu tempat ke tempat yang lain. Pindah dari satu pulau ke pulau yang lain. Hidup ditas perahu berukuran 0.8 x 2 meter. Tiga perahu berukuran sama dideret memajang sehingga nampak memanjang.
Kehidupan yang dilakoni dan aktifitas rumah tangga semuanya dilakukan diatas sampan. Mengandalkan tangkapan ikan dilaut menjadi sumber mata pencaharian mereka dan konsumsi rutin mereka.
Jaman dahulu mereka sangat sulit untuk dipantau. Mengenai populasi pemerintah Riau (dulu Provinsi Kepri masih menjadi bagian Provinsi Riau) tidak bisa memastikan angka yang pasti berapa jumlah atau populasi mereka pada saat itu. Karena sifat hidup mereka yang selalu tidak menetap.
Hingga pendidikan menjadi kendala bagi mereka. Bahkan, sarana kesehatan yang disediakan pemerintah jauh dari kebiasaan mereka untuk merujuk bila anggota keluarga mengalami gangguan pada kesehatan.
Pemahaman secara perlahan dan kontinyu. Kini pola hidup mereka yang lama perlahan mulai ditinggalkan. Memilih dan menetap didaerah hinterland seperti didaerah Pulau Gara, di Teluk Nipah di Pulau Kubung, Kota Batam. Sebagaian dari mereka mulai menghuni dan menetap di pulau tersebut.
Suku laut yang berada di Kepulauan Batam sungguh erat dengan kaitanya dengan Kerajaan Johor pada tahun 1699. Sultan Mahmud Syah, keturunan terakhir wangsa Malaka-Johor yang terbunuh, atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Mahmud Mangkat di Julang. Dijaman kepemimpinan Sultan Mahmud Syah, para suku Laut memliki keeratan dan kebersamaan dibawah kepemimpinan Sultan Mahmud Syah.
Semenjak mangkatnya Sultan Mahmud Syah yang terbunuh. Mulai saat itu kisah suku Laut tercerai belai hingga sekarang dimulai.
Mulainya, karena penolakan mereka terhadap kepemimpinan Wangsa Bendahara pada saat itu naik tahta sebagai Sulta Johor yang baru, menggantikan Sultan Mahmud yang wafat. Ketidaksepakatan mereka terhadap Sulta Johor yang baru dikarenakan suku Laut merasa curiga terhadap keluarga Bendahara yang bersubahat untuk membunuh Sulta Mahmud Syah.
Ketika pada tahun 1718, Raja Kecil, seorang petualang Minangkabau mengklaim atas tahta Johor. Mengetahui kesempatan ini, suku Laut memberi dukungan penuh terhadap raja kecil dari Minangkabau.
Menghimpun sejumlah kekutan dan memperoleh dukungan dari dari prajurit-prajurit Bugis Sultan Sulaiman Syah. Kesultan Johor berhasil direbut kembali.
Pada abad ke-18 peranan suku Laut sebagai penjaga laut Selat Malaka untuk kesultanan Johor-Riau, yang secara perlahan digantikan digantikan oleh suku Bugis.
Mengenai pribahasa dan tutur kata suku Laut memiliki kemiripan dengan Bahasa Melayu dan digolongkan sebagai Bahasa Melayu lokal. Dan pada saat itu hingga detik ini suku Laut masih mengandalkan insting sebagai nelayan menangkap ikan-ikan di laut.
kehidupan mereka saat ini telah berubah dan menetap, apa lagi sejak terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau. Kini mereka mulai menetap pada sebuah pulau di Batam, yang masih bisa dijumpai di Pulau Gara, Teluk Nipah di Pulau Kubung.
Selamat Datang
Tengok aksi mereka
Lencana Facebook
Abi Hurairah Ra. berkata, telah bersabda Rasulullah Saw, "barang siapa pernah
melakukan kezaliman terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya maupun sesuatu yang lain, maka hendaklah dia minta dihalalkan dirinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat). (kelak) Jika dia memiliki amal saleh, akan diambil dirinya seukuran kezalimannya. Dan jika dia tidak mempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudaranya (yang didzalimi) kemudian dibebankan kepadanya." (HR. Al-Bukhari).
Kita dianjurkan untuk memiliki sikap keberanian mengakui kesalahan dan meminta maaf
atas kesalahan yang telah diperbuat. Dalam hadist diatas, Rasulullah Saw. Memerintahkan "Barang siapa yang pernah melakukan kedzaliman terhadap saudara baik
menyangkut kehormatannya, maupun sesuatu yang lain, maka hendaklah dia minta
dihalalkan darinya hari ini, sebelum mata uang tidak berguna lagi (hari kiamat)."
Kedzaliman tidak hanya dilakukan oleh seorang penguasa kepada rakyatnya atau seorang
pemimpin kepada bawahannya. Setiap orang memiliki celah untuk melakukan kedzaliman
kepada sesamanya. Kedzaliman dapat dilakukan oleh tangan dan lidah kita sendiri. Dari kata-kata yang menyakitkan, menistakan, memprovokasi, dan mengklaim yang hanya
dirinya paling berjasa (menganggap orang lain tidak memiliki kebaikan) adalah semua
sifat yang bisa mendzalimi. Tangan yang menyengsarakan, sengaja menghilangkan hak
orang muslim atau sesama umat lainnya adalah hal yang telah menistakan seharunya yang musti sudah menjadi haknya.
Muslim sejati, selalu memikirkan setiap langkah dari kedua kaki, kedua tangan dan
perbuatan serta ucapan yang sekiranya dapat menyakiti perasan bahkan fisik antar
sesama umat, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. "Orang muslim (sejati) adalah orang
yang orang-orang muslim lainya selamat dari (gangguan) lidah dan tangannya."
(HR.Bukhari dan Muslim).
"Manusia bukanlah Malaikat". Siapapun bisa melakukan kesalahan kepada sesamanya. Jika hal itu terjadi, sikap terbaik yang dianjarkan Rasulullah Saw. adalah segera meminta maaf, itulah yang dilakukan Abu Dzar terhadap Bilal Ra dalam kisahnya.
Suatu hari, Abu Dzar Al-Ghifari terlibat percekcokan dengan Bilal. Karena kesal, Abu
Dzar berkata "engkau juga menyalahkanku wahai anak perempuan hitam". mendengar
dirinya disebut dengan sebutan anak perempuan hitam, Bilal tersinggung, marah dan
sedih. Kemudian ia melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah Saw. Beliau kemudian
menasehati Abu Dzar "Hai Abu Dza, benarkan kamu mencela Bilal dengan (menghinakan)
ibunya ? Sungguh dalam dirimu ada perilaku jahiliyah,"
Mendengar nasihat Rasulullah Saw itu Abu Dzar menyadari akan perbuatan dan
kesalahanya. Saat itu segera ia menemui Bilal. Abu Dzar kemudian meletakan pipinya di tanah seraya mengatakan, "aku tidak akan mengangkat pipiku dari tanah hingga engkau injak pipiku ini agar engkau memaafkanku." Namun Bilal tidak memanfaatkan momentum itu untuk membalas dendam atas kepedihan dan kesedihannya, justru Bilal berkata : "berdirilah engkau, aku sudah memaafkanmu." Begitulah Abu Dzar dengan mudah dan berani mengakui kesalahan yang ia lakukan bukan dengan sengaja untuk menghina Bilal.
Sikap seperti itulah yang seharusnya ada pada diri kita saat kita berinteraksi dengan pihak lain, terutama orang-orang terdekat kita seperti suami, istri, anak, orangtua, saudara dan seterusnya. Orang yang tidak belajar mengakui kesalahan tidak akan belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. (***)
Lemah lembut (Ar-Rifqu) adalah akhlak mulia, yang jauh lebih baik dari kedua akhlak
yang terendah dan jelek yaitu kemarahan dan kebodohan. Bila seorang hamba menhadapi
masalah hidupnya dihadapi dengan kemarahan dan emosional, akan tertutuplah akal dan
pikirannya yang akhirnya menimbulkan perkara-perkara yang tidak di Ridhoi Allah SWT.
dan RasulNya. Dan jika hamba tersebut menyelesaikan masalahnya dengan kebodohan
dirinya, niscaya ia akan dihinakan manusia. Namun jika dihadapi dengan ilmu kelemah
lembutan, ia akan mulia di sisi Allah Swt. dan makhluk-makhluk lainya.
Melatih diri untuk dapat memiliki akhlak mulia ini dapat dimulai dengan menahan diri
ketika marah dan mempertimbangkan baik buruknya suatu perkara sebelum bertindak.
Karena setiap manusia tidak pernah terpisahkan dari problema hidup. Jika tidak
memperbekali dengan dirinya dengan akhlak ini, niscaya ia akan gagal untuk
menyelesaikan problemanya. Demikian agungnya akhlak ini sehingga Rasulullah memuji
sahabatnya Asyaj Abdul Qais dengan sabdanya: "Sesungguhnya pada dirimu ada dua
perangai yang dicintai Allah, yakni sifat lemah-lembut (sabar) dan ketenangan (tidak
tergesa-gesa)". (HR. Muslim).
Akhlak ini terkadang terabaikan oleh manusia ketika amarah telah menguasai diri
mereka, sehingga tindakannyapun berdampak negatif bagi dirinya atapun orang lain.
Padahal Rasulullah sudah memperingatkan sikap amarah yang tidak pada tempatnya,
sebagaimana beliau bersabda kepada seorang sahabat yang meminta nasehat: "Jangan kamu
marah.". (HR. Bukhari).
Rasulullah mewasiatkan kepada sahabatnya itu agar tidak marah. Tidak berarti manusia
itu dilarang marah secara mutlak. Namun marah yang dilarang adalah marah yang
disebabkan hawa nafsu, yang memancing pelakunya bersikap melampaui batas berbicara,
mencela dan menyakiti saudaranya dengan kata-kata yang tidak terpuji. Yang mana sikap
ini menjauhkan diri dari kelemahlembutan. Dalam hadist yang shahih Rasulullah
bersabda: "Bukanlah dikatakan seorang yang kuat itu dengan bergulat, akan tetapi
orang yang kuat menahan dirinya dari amarah". (HR. Bukhari dan Muslim).
Ulama telah menjelaskan berbagai cara menyembuhkan penyakit marah yang tercela yang
ada pada seorang hamba, yaitu:
1. Berdoa kepada Allah agar menghilangkan sifat-sifat jelek dab hina dari diri
manusia.
2. Terus menerus berdzikir pada Allah Swt. seperti membaca Al-Qur'an, bertasbih,
bertahlil dan istigfar, karena Allah telah menjelaskan bahwa hati manusia akan
tenang dan tentram dengan mengingat Allah Swt.
3. Mengingat nash-nash yang menganjurkan untuk menahan marah dan balasan bagi
orang-orang yang mampu menahan amarahnya sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
"Barangsiapa yang menahan amarahnya sedangkan ia sanggup untuk melampiaskan
(kelakd di hari kiamat)Allah akan memanggilnya dihadapan para makhluk-Nya hingga
menyuruhnya memilih dari salahsatu bidadari surga, dan menikahkannya dengan hamba
tersebut sesuai dengan kemauannya". (HR. Tirmidzi).
4. Merubah posisi ketika marah, seperti jika marah dalam keadaan berdiri maka
hendaklah ia duduk, dan jikalau ia sedang duduk maka hendaklah ia berbaring.
Berlindung dari setan dan menghindar dari sebab-sebab yang akan
membangkitkan kemarahannya.
Seseorang sahabat bertanya kepada Nabi shollallahu 'alaih wa sallam: "wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling afdhol?"
Beliau menjawab: "Kau bersedakah ketika kau masih dalam keaadaan sehat lagi loba, kau sangat ingin menjadi kaya dan khawatir miskin. Jangan kau tunda hingga ruh sudah sampai kerongkongan, kau baru berpesan: untuk si fulan sekian, dan untuk si fulan sekian." Padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli waris)." (HR.Bukhary).
Coba lihat pendata terperincinya Nabi shollallahu 'alaih wa sallam menggambarkan ciri orang yang paling afdhol dalam bersedakah. Sekurangnya kita temukan ada empat hal yang perlu kita pahami semasa hidup ini.
Pertama:
Orang yang paling afdhol dalam bersedekah ialah orang yang dalam keadaan sehat lagi loba alias tamak, alias berambisi sangat mengejar keuntungan duniawi. Artinya, ia masih muda lagi masa depan hidupnya masih dihiasi aneka ambisi dan perencanaan untuk menjadi seseorang yang sukses, mungki dalam karirnya atau bisnisnya.
Kedua:
Bersedekah ketika dalam keadaan sangat ingin menjadi kaya dalam harta. Nabi shollallahu 'alaih wa sallam seolah ingin menggambarkan bahwa orang yang dalam keadaan tidak ingin menjadi kaya berarti bersedekah kurang bernilai dibanding orang yang dalam keadaan berambisi ingin menjadi kaya. Sebab bila seorang yang sedang berambisi menjadi kaya bersedekah berarti ia bukanlah tipe orang yang hanya ingin menikmati kekayaan untuk dirinya sendiri, melainkan kenikmatan yang dirasakannya perlu ada orang lain yang berhak untuk ikut merasakan kenikmatan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa jika Allah izinkan dirinya benar-benar menjadi orang kaya, maka dalam kekayaan itu dia bakal selalu sadar akan hak kaum yang kurang bernasib baik yang perlu diperhatikan.
Sekaligus kebiasaan bersedakah yang dikembangkan sejak seseorang baru pada tahap awal merintis bisnisnya, maka hal itu mengindikasi bahwa si pelaku bisnis itu sadar sekali bahwa rezeki yang ia peroleh seluruhnya berasal dari Yang Maha Pemberi Rezeki, Allah Ar-Razzaq.
Hal ini sangat berbeda dengan orang kaya dari kaum kafir seperti Qarun, misalnya. Qarun adalah tokoh kaya di zaman dahulu yang dalam meraih keberhasilan bisnisnya menyangka bahwa kekeyaan yang dia peroleh merupakan buah dari kepiawainya dalam berbinis semata.
Ia tidak pernah mengkaitkan kesuksesan dirinya dengan Yang Maha Pemberi Rezeki, Allah SWT. Qarun berkata, sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku (QS. Al-Qshshash ayat 78)
Ketiga:
Sedekah menjadi afdhol bila si pemberi sedekah berada dalam keaadaan khawatir menjadi miskin. Walaupun ia dalam keadaan khawatir miskin, namun hal ini tidak mempengaruhi dirinya. Ia tetap berkeyakinan bahwa bersedkah dalam keadaan sperti itu merupakan bukti ke-tawakkal-annya kepada Allah semata.
Ia sadar bahwa jika Allah kehendaki, maka mungkin sekali dirinya menjadi kaya atau miskin itu terserah Allah yang mengatur kehidupan. Yang pasti dalam keadaan apapun yang dialaminya tidak mempengaruhinya sedikitpun untuk kebiasaannya bersedakah.
Ia sudah menjadikan bersedakah sebagai salah satu karakter penting di dalam keseluruhan sifat dirinya. Persis gambarannya seperti orang bertaqwa di dalam
Al-Qur'an"
"...yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit." (QS Ali Imran ayat 133-134).
Kempat:
Nabi shollallahu 'alaih wa sallam sangat mewanti-wanti agar jangan sampai seseorang baru berfikir untuk bersedakah ketika menjadi pada ajal kematian. Sehingga digambarkan oleh beliau bahwa orang itu kemudian baru menyuruh seseorang pencatat menginventaresasi siapa-siapa saja pihak yang berhak menerima harta miliknya yang hendak disedekahkan atau diwasiatkan.
Ini bukanlah bentuk bersedekah yang afdhol. sebab pada hakikatnya, seseorang yang bersedekah ketika ajalsudah menjelang, berarti dia melakukan dalam keadaan terpaksa oleh situasinya sendiri yang sudah tidak punya pilihan lain.
Bila seseorang bersedekah dalam keadaan ia bebas memilih antara mengeluarkan sedekah atau tidak, berarti ia lebih bermakna dari pada seseorang bersedakah ketika tidak ada pilihan lainya kecuali harus bersedekah.
Itulah sebabnya Nabi shollallahu 'alaih wa sallam lebih menghargai orang yang masih muda dan sehat bersedakah daripada orang yang sudah tua dan menjelang ajal baru berfikir untuk bersedekah.
Akan ada penguasa yang kamu ketahui namun kalian mengingkarinya. Maka barang siapa yang tidak menyukainya dia telah berlepas diri dan barang siapa yang mengingkarinya dia selamat dan barang siapa yang ridha dan mengikutinya maka dia tidak akan berlepas diri. (HR. Muslim dan Abu Daud).
Akhir zaman adalah zaman kelabu dan abu-abu. Banyak orang bersikap dalam keseharinya juga demikian abu-abu. Tidak jelas lagi sikapnya, karena langkah-langkah yang diambil selalu dengan tidakan yang jarang menggunakan pendoman agama. Kita kehilangan heroisme dan kejuangan. takala setiap kita secara kolektif mengambil jalan aman maka tidak akan muncul sosok yang mampu membendung gerakan-gerakan kemungkaran, karena apa yang dlakukan oleh kebanyakan manusia sudah dianggap sebagai kebenaran.
Seorang penguasa misalnya yang secara benderang melakukan kesalahan sering kali kita tak mampu untuk memberi nasehat, kritik, teguran tau peringatan. Kita terbelenggu atau mungkin atau lebihnya tepatnya kita membelenggu diri dengan ketakutan-ketakutan yang kita ciptakan atas komunitas yang sepaham.
Sabda Nabi diatas menggambarkan bahwa wilayah kekuasan adalah wilayah yang rumit yang tidak hati-hati kita akan terseret dan terlilit oleh kerumitan yang sulit diurai. Ada diantara kita yang tahu kemungkaran itu namun kita tidak berani, bahkan sekedar untuk tidak suka dan benci pada kemungkaran yang nyata tergambarkan, agar kita terbebaskan dari dosa kemungkarannya.
Di akhir zaman para pemberani itu menjadi minoritas tidak seperti di zaman sahabat sahabat Rasulullah dimana keberanian dan heroisme menjadi sebuah tindakan massif dab gampang disaksikan dalam tindakan wacana. Para sahabat adalah generasi paling berani, kritis bahakan terhadap Nabi sekalipun jika apa yang dikatakan Rasulullah merupakan pendapat pribadi yang bisa dipertanyakan atau diberi usulan baru. Dan Nabipun sering menerima masukan selama hal itu menjadi maslahat ummat. Kasus perang Badar, Uhud dan Khandaq menjadi saksi bagaimana sistim musyawarah dan ruang kritis diberi ruang demikian luas. Demikian pula di zaman Umar. Dizaman Umar gerakan egalitarian (muasawat) demikian terasa denyutnya.
Perubahan zaman sampai detik ini terasa semakin remang-remang sebagai akhir zaman, dimana kebenaran jelas namun tidak berani diungkap. Beragam kepentingan berseliweran dalam benak kita, sehingga menimbulkan kemandulan ruhani. Kesan itu menjadi menu pahit tapi dinikmati dengan terpaksa.
Makanya Rasulullah menegaskan barang siapa yang mengingkari kemungkaran yang dilakukan pemimpinya maka dia akan diselamatkan dari siksa Allah di akhirat nanti, dan barang siapa yang menyatakan rasa ketidaksukaanya atau menahan geram ketidaksukaannya dalam hatinya maka dia akan terlepas dari dosa-dosa pemimpinnya. Sedangkan yang membebek, mengekor, membela mati-matian walaupun sudah jelas salah telanjang, maka dia tidak akan lepas dari kesalahan pemimpinnya dan dia tidak akan selamat.
Rasulullah pernah bersabda bahwa phatologi sosial-religius akan muncul di akhir zaman nanti. Dimana keterlambatan shalat para pemimpin dianggap wajar bahkan dibenarkan dengan beragam alasan. Karena kesibukan, karena waktu yang padat karena acara tidak bisa ditunda dan seterusnya. Rasulullah bersabda dalam hal ini:
Bagaimana sikap kalian jika datang pada kalian pada penguasa yang mengakhirkan menunaikan shalat bukan diawal waktu? Shalatlah kalian tepat waktu dan jadikan shalat kalian bersama dengan mereka itu sebagai tasbih (HR. Tirmidzi).
Inilah yang terjadi saat ini, para pemimpin yang kita ikuti tidak lagi takut pada Sang Khalik, tidak pernah dekat lagi dengan sang Maha Awas. Kita menjadi pengekor bahkan untuk shalat tepat waktu saja kita merasa ketakutan dan tidak "enak" para pemimpin kita.
Aroma maksiat kepada Allah menjadi demikian menyengat takala hati kita tumpul melihat kemungkaran didepan mata. Kaidah emas yang Rasulullah ajarkan tidak menggedor hati untuk direalisasikan di alam nyata. Sabda Rasulullah hanya menjadi hiasan khtbah dan ceramah dan tidak merayap dalam kenyataan.
Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya dia mengubahnya dengan tanngannya, jika tidak mampu maka hendanya mengubahnya dengan lidahnya dan jika tidak mampu juga hendaknya dilakukan dengan hatinya dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman (HR. Muslim dan Ahmad).
Ketumpulan dan penumpulan nurani ini akan melahirkan berhala-berhala semu bagi kita semua. Ada ketaatan ganda kepada Allah dan pada yang selain Allah. Namun, kita sering kali mencari pembenaran walaupun hati kita merasa sangat tidak nyaman.
Akhir zaman, dimana penyelewengan menurut Rasulullah menjadi sesuatu yang massif dilakukan. Manusia tidak lagi peka dan tidak mau peka dari mana mereka mendapatkan harta yang mereka makan, dan untuk apa mereka belanjakan. Apakah harta yang mereka dapatkan itu dari lorong yang halal atau dari jalan yang gulita dan haram tak lagi menjadi sebuah pertanyaan.
Ulama-ulama merapat pada umara dengan tujuan hanya memperoleh dinar dan dirham serta kepingan rupiah. Daya kritis yang semakin mandul, daya konstruktif yang semakin terkubur.
Rasulullah bersabda:
Diantara tanda mendekatnya kiamat adalah : berjubelnya para khatib di mimbar-mimbar dan banyaknya ulama yang menempel pada penguasa kalian. Lalu mereka menghalalkan yang haram demi penguasa itu dan mengaharamkan yang halal demi mereka. Mereka memberi fatwa sesuai dengan syahwatnya. Ulama-ulama kalian mengajar agar mereka mendapatkan dinar dan dirham dan mereka jadikan Al-Quran sebagai komuditas pembicaraan mereka (HR.Ad-Dailami).
Itulah kondisi riil kita saat ini. Harta-harta syubhat dianggap halal dengan beragam alasan, dengan beragam hujjah dan argumentasi yang di cari-cari.
Sungguh benarlah sabda Rasulullah:
Akan datang suatu masa pada manusia dimana kita tidak lagi peduli daripada dia mendatangkan harta, apakah dari yang halal atau dari yang haram (HR.Bukhari).
Para pemimpin yang benar pasti ada walaupun dia demikian langka. Selangka keberanian kita untuk menyatakan kebenaran.
Orang yang senantiasa berpegang teguh dengan sunnahku saat terjadi perselisihan diantara ummatku laksana orang yang memegang bara api (HR.Hakim).
Semoga Sang Pencipta mempercepat lahirnya pemimpin yang bertanggungjawab untuk kemaslahatan agama dan kejayaan kaum muslimin dimasa depan. Amin.