Kamis, 15 Juli 2010

Suku Laut dan Kerajaan Johor




Mengenal suku Laut di Provinsi Kepulauan Riau identik dengan hidup yang berpindah-pindag. Dari satu tempat ke tempat yang lain. Pindah dari satu pulau ke pulau yang lain. Hidup ditas perahu berukuran 0.8 x 2 meter. Tiga perahu berukuran sama dideret memajang sehingga nampak memanjang.

Kehidupan yang dilakoni dan aktifitas rumah tangga semuanya dilakukan diatas sampan. Mengandalkan tangkapan ikan dilaut menjadi sumber mata pencaharian mereka dan konsumsi rutin mereka.

Jaman dahulu mereka sangat sulit untuk dipantau. Mengenai populasi pemerintah Riau (dulu Provinsi Kepri masih menjadi bagian Provinsi Riau) tidak bisa memastikan angka yang pasti berapa jumlah atau populasi mereka pada saat itu. Karena sifat hidup mereka yang selalu tidak menetap.

Hingga pendidikan menjadi kendala bagi mereka. Bahkan, sarana kesehatan yang disediakan pemerintah jauh dari kebiasaan mereka untuk merujuk bila anggota keluarga mengalami gangguan pada kesehatan.

Pemahaman secara perlahan dan kontinyu. Kini pola hidup mereka yang lama perlahan mulai ditinggalkan. Memilih dan menetap didaerah hinterland seperti didaerah Pulau Gara, di Teluk Nipah di Pulau Kubung, Kota Batam. Sebagaian dari mereka mulai menghuni dan menetap di pulau tersebut.

Suku laut yang berada di Kepulauan Batam sungguh erat dengan kaitanya dengan Kerajaan Johor pada tahun 1699. Sultan Mahmud Syah, keturunan terakhir wangsa Malaka-Johor yang terbunuh, atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Mahmud Mangkat di Julang. Dijaman kepemimpinan Sultan Mahmud Syah, para suku Laut memliki keeratan dan kebersamaan dibawah kepemimpinan Sultan Mahmud Syah.

Semenjak mangkatnya Sultan Mahmud Syah yang terbunuh. Mulai saat itu kisah suku Laut tercerai belai hingga sekarang dimulai.

Mulainya, karena penolakan mereka terhadap kepemimpinan Wangsa Bendahara pada saat itu naik tahta sebagai Sulta Johor yang baru, menggantikan Sultan Mahmud yang wafat. Ketidaksepakatan mereka terhadap Sulta Johor yang baru dikarenakan suku Laut merasa curiga terhadap keluarga Bendahara yang bersubahat untuk membunuh Sulta Mahmud Syah.

Ketika pada tahun 1718, Raja Kecil, seorang petualang Minangkabau mengklaim atas tahta Johor. Mengetahui kesempatan ini, suku Laut memberi dukungan penuh terhadap raja kecil dari Minangkabau.

Menghimpun sejumlah kekutan dan memperoleh dukungan dari dari prajurit-prajurit Bugis Sultan Sulaiman Syah. Kesultan Johor berhasil direbut kembali.

Pada abad ke-18 peranan suku Laut sebagai penjaga laut Selat Malaka untuk kesultanan Johor-Riau, yang secara perlahan digantikan digantikan oleh suku Bugis.

Mengenai pribahasa dan tutur kata suku Laut memiliki kemiripan dengan Bahasa Melayu dan digolongkan sebagai Bahasa Melayu lokal. Dan pada saat itu hingga detik ini suku Laut masih mengandalkan insting sebagai nelayan menangkap ikan-ikan di laut.

kehidupan mereka saat ini telah berubah dan menetap, apa lagi sejak terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau. Kini mereka mulai menetap pada sebuah pulau di Batam, yang masih bisa dijumpai di Pulau Gara, Teluk Nipah di Pulau Kubung.