Alamak... dasar manusia terlalu nyentrik dengan busana yang bercorak polemik yang dikenakan setiap saat. Bangga dengan adegan yang sengaja dirancang, demi atau tanpa demi apapun. Menciptakan selisih yang jauh dari suasana yang kondusif dan meluluh-lantakkan arti keindahan dalam kebersamaan. Ia berkoar kesana kemari mendengungkan kenapa di perkumpulan ini ada bermunculan gap-gapan baru?
Rekayasa adu domba dikemas sengaja, dan terkadang tanpa sengaja ia lakukan demi keuntungan pribadi atau yang bisa diajak bersubahat denganya. Parahnya lagi, keadaan itu dilakukan dengan maksud tanpa kejelasan yang mendasar. Mungkin demi memuaskan bujukan penyakit jiwa yang kian membusuk didalam jiwanya.
Lalu, pantaskah lingkungan menjadi kambing hitam atas kegagalan seseorang menjadi manusia yang bijaksana dan arif. Terpilih menjadi pemimpin menjadi objek baginya untuk berbuat sekehendak hatinya. Lantas ia sisihkan mereka yang tidak sepaham, dengan menyusun rencana tipu muslihat, salah satunya jalan menggalang kekuatan untuk menjadi gap baru yang menjadi jembatan tercapainya keserakahan jiwanya, dan ia kumpulkan salinan informasi busuk dibuku agenda kerjanya, kemudian dirangkai menjadi arti untuk menjatuhkan lawan-lawannya dilembaga sosial bidang "kemaslahatan rakyat".
Perubahan yang digiringanya meningkatkan terus velositasnya: mengahajar struktur, sistim, bahkan keharmonisan yang sebelumnya telah terbentuk dengan membawa paham demi sebuah popoluritas dan pandangan atasan terhadapnya. Satu-persatu dari kelompok tersebut mengetahui dan memahami gelagat yang dilakukannya, ada yang mengambil inisiatif mencoba melawan, ada yang memutuskan untuk tetap bungkam dan ada yang lebih memilih menyokong dengan menjadi mata-mata.
Perlawanan dicoba. Namun, di pihak pertama menyadari, lawan merupakan musuh tangguh yang sulit untuk dirobohkan, dan ada sebagian dari mereka yang menaruh pengharapan pada kebijakan dan keputusan yang ekstrim dari atasan yang tidak terlihat ditempat. Maka jadi problematis pula kesatu-paduan kesadaran dari pihak pertama, dan goyah pula posisi kita sebagai subyek yang "mengetahui". Kalimat apatis terlontar, "apa artinya mengetahui" Ada yang menjawab lebih baik menjaga "kesehatan jiwa" ketimbang musti tertular penyakit jiwa yang terus menggarayangi setiap dimulainya cahaya matahari dari timur yang mengedor kelopak mata hingga terbebelak sampai sang surya itu menjalanikodratnya untuk condong ke arah barat. Begitu seterusnya dan entah endingnya kapan. semrawut yang membosankan.
Bicara "Kesehatan jiwa," Mustafa Fahmi mencerminkan ilmu mengadaptasi jiwa atau target "persentuhan" dan "penyatuan pribadi". "Penyatuan pribadi" bersifat penerimaan orang lain terhadap dirinya. Sebaliknya, "Persentuhan" bersifat penerimaan seseorang terhadap dirinya sendiri. Misalnya karya buah pikir yang dirancang demi kebaikan bersama dengan faedah yang bisa nikmati.
Fahmi berbicara tentang kedua hal yang dimaksud adalah pengertian positif dalam memandang pribadi yang diadaptasi ini, bisa dikatakan bahwa pribadi seperti itu dari contoh tingkah laku matang yang sanggup menghadapi segala problem atau pergumulan bukan lari menghidarinya.
Selanjutnya, bagaimana dengan manusia yang terkadung terjangkit bakteri busuk yang menggangu kesehatan jiwanya? Lantas, adakah ramuan manjur yang bisa menyembuhkan penyakit seperti ini?
Berabad-abad yang dulu, manusia tempatan dan terpilih membawa Manhaj lalu mengajarkan ilmu yang paling ampuh dan sempurna sepanjang hayat agar tetap sehat dan bahkan bisa menyembuhkan penyakit yang sering mendiami jiwa umat manusia. Ku sarankan cari ilmu ini bergurulah pada yang lebih dewasa ketimbang memilih ujian untuk lulus sertifikasi pengadaan barang dan jasa yang lantas dipergunakan untuk melakukan penyimpangan.