Selasa, 02 September 2008

Si Tuapun Wajib Bisa

"Sakit kepala," hampir semua peserta pelatihan desiminasi program aplikasi menyatakan hal demikian. Emang sih kalau hidup diera kompeterisasi mau ndak mau kita harus mengikuti tren teknologi. Lagian faktanya kecanggihan teknologi berupa kompeterisasi sangat membantu sekaligus mempermudah pekerjaan misalnya jarak udah gak menjadi batasan, berita segera tersampaikan dan terjawabs serta informasi dunia bisa diperoleh hanya dengan sekali klik.

Nah masalahnya, sakit kepalanya ini. Otak bagian belakang rasanya cenat-cenut gelinyeng oleh materi yang harus tersimpan baik disel otak. Karena, file itu sekembalinya kami kedaerah harus dibuka kembali untuk dapat diaplikasi oleh orang seluruh kantor yang ada didaerah.

Perserta Pelatihan Desiminasi Program Aplikasi mengundang perwakilan dari seluruh kanwil provinsi yang ada di Indonesia. Bermacam karakter pendidikan dan kelompok usia menjadi duta yang diharapkan. Ini perintah untuk mengikutinya, namun ada sih yang berkomentar mengikuti kegiatan ini hanya sekedar mengejar uang saku dari panitia.

Tapi yang menjadi keluhan dan gerutu dalam pelatihan ini adalah mereka-mereka dari kelompok usia tua dan latar belakang pendidikan yang berbeda. Misalnya si tua. Ia hidup dijaman yang waktu itu popularitas mesin tik yang masih dikursuskan, sedangkan latar belakang pendidikan seperti sarjana psikolog, ia mengaku tidak ada matakuliah kompeterisasi apa lagi mengenai jaringan. Tapi tidak ada satupun dari kami yang menyalahi aturan kebijakan atasan untuk mengikuti perkembangan teknologi, justru kami ikut sepakat dengan tren teknologi komputer yang digulirkan saat ini.

Malam kedua setelah sepulangnya kami mengikuti pelatihan, kami kembali kepenginapan yang disediakan panitia. Waktu itu tanpa direncana kamar hotel nomor 232 dalam sekejap menjadi sarang nyamuk yang masuk dari jendela yang sengaja dibuka. Sebenarnya kami membuka jendela itu bermaksud mengusir asap rokok yang memenuhi ruangan.
Kotornya kamar hotel itu sebenarnya pelakunya hanya lima orang kesemunya memang peserta yang tengah asiknya ngumpul dan mengobrol tentang daerah masing-masing sampai akhirnya kami mengeluh atas ketidakmampuan otak kami untuk memahami kesempurnaan perangkat komputer.

Kami yang cuma berlima sudah mewakili karakter pendidikan dan kelompok usia. Bapak dari Provinsi Sumatera Utara misalnya ia memiliki ornamen usia yang dua tahun lagi ia akan menutup bukunya sebagai PNS. Emangsih dari sisi fisik bapak yang satu ini masih kelihatan tangguh sebagai PNS namun kodratnya itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertarung dengan kemajuan teknologi seperti yang saat ini dipelajarinya.

"Aiiih, sakit kepala ngederin materi tadi. Aku kurang negerti yang disampaikan, apa pembicara ngajarinya terlalu cepat atau aku goblok," ujar bapak dari Sumut sambil menggelengkan kepala. "Aku copy ya, materi yang kamu simpan dilaptopmu," kata lanjutannya setelah ia ditawari untuk mengcopy materi yang ditawarkan.

"Ini harus dipahami neh, entar kalau ditanya atasan kalau gak bisa, gawat". Kami semua meamini komentar barusan. Artinya si tua dan si masalah pendidikan yang berbeda harus mengerti. Tapi sebenarnya kami bertanya-tanya sebenarnya daerah mengutus kami ini apakah sudah benar dan terseleksi dengan kamampuan yang kami miliki, atau jangan-jangan memang gak ada orang lagi yang sebenarnya lebih layik untuk mengikuti pelatihan kali ini.

Emang sih, sebenarnya komputer itu harus dimengerti oleh seluruh tamatan disiplin ilmu apapun, tapi bolehkan kami mengemukakan alasan tentang ilmu yang dipelajari dan diberikan kekami mengenai teknis jaringan komputer bukan hanya sekedar mengoperasikannya saja. Kami harus mengetahui kalau jaringan komputer yang dibangun mengalami trouble.
Jujur saja, hampir semua dari kami kurang mengerti materi pelatihan yang disampaikan. Memang tidak semua sih dari seluruh peserta yang tidak mengerti, terutama para klen usia tua dan latar belakang masalah pendidikan yang sulit untuk menerima masuk materi komputerisasi kedalam sel membran otak ini.

Ya.. sejata kami paling akhir berharap bos mau mengerti akan kekurangan dan ketidak kemampuan kami. Mungkin menjadi harapan yang gak pupus selama kami masih bekerja dibidang yang menuntut kemajuan teknologi.