Bagaimana menurut Anda tentang adat, seni-budaya dan norma suku Melayu? Ada sejumlah kaum itelektual yang tengah menggali pengetahuannya di Pusat Studi Melayu Divisi Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Hasanuddin Makasar mencoba menghidupkan kembali jejak Kemelayuan Nusantara.


Menurut mereka nilai-nilai unversalitas seni-budaya Melayu yang menjadi salah satu perekat suku-suku bangsa di Nusantara, termasuk dikawasan timur Indonesia, layak dihidupkan kembali untuk meredam maraknya konflik sosial belakangan ini.


Egalitarian dan humanisme yang menjadi ciri Kemelayuan telah menebar benih demokrasi dari Sabang hingga Merauke. sejak zaman Kerajaan Malaka pada tahun 1400-an. Benih-benih demokrasi tersebut terus hidup dan berkembang beberapa ratus tahun kemdian.
Mengingat kehidupan Kemelayuan yang dinilai demokrasi dan semangat menghidupkan jejak Kemelayuan Nusantara diselenggaran "Seminar Internasional dan Dialog Budaya Kemelayuan di Indonesia bagian Timur" yang dilaksanakan di Istana Tamalatea Balla Lompoa Goa pada Oktober 2008 lalu.


Seminar yang diwarnai melakukan menapak tilas ke makam Sultan Hasanuddin, Syekh Yusuf, Benteng Rotterdam dan situs-situs kultural yang telah lama terjalin. Diharapkan pijakan pada kultur lokal tak akan terkoyak ditengah arus tantangan globalisasi yang menyeret pada tingkah laku anarkis yang bermuara pada konflik dan perpecahan Nusantara.


Indonesia atau Nusantara (sebutan alternatif selain Hindia Belanda bagi kolonial Belanda sewaktu menjajah) mengklaim sebagai negara yang demokrasi perlu melihat, mengkaji dan menilai akan ragam adat, seni-budaya dari berbagai suku bangsa yang patut dijunjung dan diteladani sebagai norma nilai-nilai positif demi keutuhan bangsa ini. (KOMPAS/NET)